Dear Anisa

Pagi ini aku termenung di teras rumah. Kulirik mami yang juga termenung disebelahku dengan raut muka penuh duka.

Setahun lalu……

Hmmm… kulihat mami terisak. Tak sempat ku bertanya, dia menyuruhku dan adik-adikku untuk berkemas. Katanya kami akan pulang ke desa kelahiran mami. “Eyang putri meninggal!!!” jerit mami waktu Anisa, adik perempuanku, bertanya kenapa harus sekarang kesana. Kami berdua saling berpandangan, dan menuruti perintah mami untuk berkemas.

Setibanya di desa, kami disambut oleh isak tangis dari seluruh keluarga yang sudah ada disana. Sungguh, saat itu kami semua hanyut dalam tangisan. Dan disaat inilah, untuk pertama kalinya kami semua berkumpul. Ternyata ada banyak sepupuku yang belum pernah ataupun lama tak pernah bertemu. Momen ini menjadi momen baik bagi kami, cucu-cucu eyang untuk saling mendekatkan diri satu sama lain. Sayangnya, hampir tak ada satu orangpun dari sepupuku yang seusia denganku (yah, aku cucu pertama dan akulah yang paling tua dari semua cucu eyang). Berbeda dengan Anisa yang terpaut usia hampir sama dengan Jean dan Luri.

Seusai pemakaman eyang putri, sesuai rencana, lusa kami akan kembali lagi ke Jakarta. Seperti tak ingin waktu yang singkat ini terlewatkan begitu saja, Anisa, Jean dan Luri pergi diam-diam. Entah kemana, mereka pergi bertiga dalam satu sepeda motor. Kami mengetahui aksi nekat mereka justru setelah kami dapat kabar dari RSU di desa itu. Mereka kecelakaan dan sekarang sudah ada di rumah sakit, hanya itu informasi yang kami dapat. Buru-buru kami semua berangkat ke Rumah Sakit. “Oh Tuhan, ujian apa lagi ini?” rutukku dalam hati.

Setiba di RS, kami melihat Luri terduduk lesu disudut RS. Kami semua menghampirinya. Mama dan papanya langsung memeluknya. Aku melihat ada titik-titik airmata di wajah Luri, namun dia belum bisa menjawab pertanyaan kami tentang keadaan adikku dan sepupuku Jean. Dia masih syok. Aku berlari menghampiri seorang suster yang kebetulan lewat menanyakan dimana adikku. Kami dibawa kamar mayat. Hah?? Tak kuasa menahan tangis, kami semua berlari masuk ke dalam dan melihat tubuh Jean sudah terbujur kaku. Sementara semua orang menangis, aku masih ingin tau dimana Anisa. Karena disitu hanya ada tubuh Jean. Kutinggalkan mereka semua dikamar itu.

Aku berlari menuju ke ruang informasi. Mereka membawaku keruangan Anisa. Glek!!! Aku ingin pingsan melihat kondisi adikku. Bahkan sulit bagiku untuk menjelaskan bagaimana sesungguhnya kondisinya. Tanpa pikir panjang aku cari Dokter yang menangani adikku. Kata dokter, adikku tidak bisa ditangani di Rumah Sakit ini. Dia harus dibawa ke kota. Karena kondisinya sangat parah. Kedua kakinya remuk, dan isi perutnya hampir terburai. Ketika aku kembali ke kamar Anisa, mami dan papi sudah ada disana. Mami memelukku, namun secepatnya aku melepaskan pelukan mami. Aku jelasin pada mami bahwa Anisa harus dibawa ke kota karena pihak rumah sakit mengaku tidak bisa menangani. Malam itu juga kami langsung membawa Anisa ke kota (butuh waktu 4-5 jam untuk sampai kesana). Tak putus-putus aku berdoa dalam hati. Mami tetap saja dengan tangisannya. Isak tangisnya justru membuat kami semua tambah panik.

Anisa sudah di ruang operasi. Penanganan pertama, bagian perut Anisa diperiksa dan dikembalikan ke posisi sebenarnya. Operasi untuk perutnya selesai jam 2 subuh. Usai operasi ini, akan dilakukan amputasi untuk kaki Anisa. Hatiku menjerit mengetahuinya. Tak bisa kubayangkan Anisa harus melanjutkan hidupnya tanpa kedua kakinya. Namun demi menguatkan mami, aku tak menunjukkan kesedihan dan ketakutanku.
Jam 4 subuh, Anisa kembali dibawa ke ruang operasi, untuk proses amputasi. Sungguh, kami menunggu sudah terlalu lama.

Tak sabar rasanya ingin lihat kondisi adikku. Tak sampai satu jam, dokter keluar dan memanggil kami semua.
“Anisa sudah pergi, dia sudah tenang sekarang. Kita harus merelakannya”, kata dokter.
Airmata tak terbendung lagi. Kami semua berpelukan dalam tangis. Aku menelpon Om Yahya, papanya Luri, mengabari bahwa Anisa sudah tiada dan kami akan segera kembali ke desa.

Akhirnya kami tiba di desa dengan membawa jasad Anisa. Dan kamipun disambut oleh jasad Jean yang terbujur kaku. Plak!!! Mami menampar Luri. Mami memarahi dan memaki-maki Luri. Sungguh itu tidak adil bagi Luri, namun mami juga tidak bisa terima dengan keadaan ini. Bagi mami, Lurilah penyebab malapetaka ini, Lurilah sumber dari semua ini.

Saat senja tiba, kami menghantarkan dua jasad keluarga kami tercinta kepemakaman. Hati kami semua kelam, sekelam langit senja itu. Luri tidak ikut. Dia terlihat frustasi. Bahkan tidak bisa diajak bicara. Kadang dia tersenyum sendiri, kadang dia menangis tanpa ada sebab. Tapi mami sudah tidak perduli dengan dia. Mami berjanji tak akan pernah sudi bertemu Luri lagi. Aku tau itu semakin membuat Luri tertekan.

Tiba-tiba... “tok tok tok”, seseorang mengetuk pintu dan membuyarkan lamunan kami berdua. sshhhh… mami menarik nafas panjang dan beranjak menuju pintu.

terbit jg disini

9 Cahaya Bicara:

bukan facebook mengatakan...

waduh koq sayah jadi sedih...

Joko Sutarto mengatakan...

Kamu punya bakat pencerita yang baik.
Ceritamu mengalir seperti air,
menuntunku untuk terus tanpa paksaan
menyelesaikan ending ceritanya.
Dan hasilnya..... sebuah kejutan
yang tidak pernah kuduga seperti
cerita detektif yang endingnya sangat
sulit ditebak.
Selamat! Kamu berbakat untuk jadi novelis.
Ijinkan aku untuk bertepuk tangan. He....He...

Lisha Boneth mengatakan...

@bukan facebook: :D senyum dongg... ini cerita lama.. udh tahunan.. meskipun sebenernya ada tokoh beneran dan tokoh boongan disini.. tp sang "anisa" pasti udh tenang disana.. hehe

@mas joko: makaseeeehhhhh.... hihihi.. aduh baru kali ini dpt pujian.. muka saya jd merah..
makaseehhh loh..
klo bgini caranya saya bisa jd rajin2 nongolin cerita2 fiksi based on true story nih!!! *fiksi koq based on true story yah?? aahhh suka2 saya domss...

MONOKROM mengatakan...

Bagus sekali Mbak...betul sekali pendapat Mas Joko, Sampean is very talented indeed!

Lisha Boneth mengatakan...

aduh.. ada bu guru disini..
mariiii duduk bu guru..
:D :D

saya ndak biasa dipuji bu guru..
hihihi tp hari ini saya dpt 2 pujian sekaligus dari kalian berdua.. ah saya seneng sekali

mdh2an itu beneran dan saya semakin semangat ngeluarin ide2 ndeso saya..
sayangnya bahasa pujangga saya bener2 minus.. ndak ada stok.. jd bahasa yg saya pake untuk sementara ini hanya bahasa Indonesia yg teteup aja ndeso, smpe saya berguru sama mbak Freya nanti.. hahaha

Unknown mengatakan...

Aduh..saya kirain beneran lho ini adiknya Lisha yang meninggal. Ceritanya alami sekali.. :-)

Lisha Boneth mengatakan...

daaannnn... kali ini tamu saya si ibu dokter..
makasih lohh mbak dah mampir.. :D :D :D

Ini beneran koq tp memang bukan adik saya, seseorang yg msh kluarga saya. Klo dibilang alami, yah mgkn krna emang based on true story tadi.. :D :D

bandit™perantau mengatakan...

totally real or totally unreal... this story is meaningful...




*kemaren dah baca... skrg baca lagi...
*Ngambil tissue...

Lisha Boneth mengatakan...

bandit: makasih.. makasih bangg..
tissuenya jgn dimakan yah..
besok saya sediain kacang goreng deh disini, biar bang bandits ndak makan tissue.. hehe

Cahaya Hati Boneth Copyright © 2009 Designed by Ipietoon Blogger Template for Bie Blogger Template Vector by DaPino