Bagai sungai kering yang merindukan air, tak tahan ku menahan gelora di dada saat ku bersua dengan Yoga. Kujatuhkan tubuhku pada pelukannya, sejenak kulupakan Lily dan juga suamiku yg sangat mencintaiku. Malam itu menjadi malam petaka sekaligus malam terindah bagi kami berdua. Kurelakan Yoga meniduriku, toh aku sudah tak perawan lagi, aku membuat pembenaran pd diriku sendiri.
Seminggu rasanya tak cukup, tapi Ibu sudah bolak balik menelepon dan mengabarkan soal Lily. Katanya Lily mulai rewel, mgkn dia rindunya papanya, itu menurut ibu. Kuminta janji dari Yoga, bahwa suatu hari kami harus bertemu lagi. Aku tak ingin pertemuan ini hanya sampai disini. Yoga memenuhi permintaanku dan berjanji kelak, kami akan bertemu lagi.
Semua terjadi begitu saja.
Semakin bergulirnya waktu, semakin membuncah rasa di dada. Aku benar-benar ingin memiliki Yoga seutuhnya. Terlalu sering aku cari-cari alasan untuk kembali bertemu dengannya, hingga suatu waktu, tanpa aku sadari suamiku mengikutiku ke kampung. Dia menyaksikan semua gelagatku bersama Yoga (
yang sudah dengan leluasa mengumbar kemesraan di kampung halaman kami). Dia marah besar, tapi aku tak memperdulikannya. Dia pergi dengan membawa semua kekesalannya. Biarkan saja!