Gadis itu...


Gadis belia berusia 10 tahun itu berjalan tergesa-gesa. Dengan beberapa buah tampi yang terbuat dari anyaman bambu di atas kepalanya. Ibunya sudah jauh di depan. Dia tak ingin ibunya berteriak memanggil namanya ditengah jalan yg ramai ini, bila dia ketinggalan dibelakang. Mereka menuju ke sebuah pasar di desa itu. Yah, begitulah rutinitas mereka. Berdagang dari pasar yang satu kepasar yang lainnya.

Gadis itu bernama Wulan. Mestinya dia sudah duduk di bangku sekolah, tapi keadaan ini mengharuskannya untuk tidak bersekolah. Dia punya 2 orang adik perempuan dan 1 orang adik laki-laki. "Kedudukannya" sebagai anak tertua memaksanya untuk membantu ibunya berdagang.

ooo000ooo

Hari ini, Wulan mulai masuk sekolah, bersama dengan Putri, adiknya yang terpaut usia 2 tahun lbh muda darinya. Mereka duduk sebangku. Meskipun Wulan harus sering-sering bolos sekolah demi membantu ibunya, dia tetap semangat setiap kali menginjakkan kaki ke sekolah. Bukan hanya Wulan, Putri juga mengalami hal yang sama. Bila Wulan dibawa "menjelajah" dari desa yang satu ke desa yang lain, Putri kebagian tugas menjadi "baby sitter" 2 adiknya. Loh, kemana perginya si ayah? Ke sawah! Berangkat pagi, dan kembali lagi ke rumah saat petang menjelang.

Bertahun-tahun berlalu, Wulan dan Putri akhirnya menyelesaikan sekolahnya di tingkat SMP. Putri kemudian memutuskan untuk merantau ke kota (krna ibunya tak mengijinkannya melanjutkan sekolah ke tingkat SMA), meninggalkan kehidupan dan rutinitas keluarganya. Berbeda dengan Wulan yang juga berhenti tetapi tetap berkutat dengan rutinitas itu. Mengikuti ibunya dengan jiwa dagangnya. Hingga akhirnya Wulan kecantol pemuda desa seberang yang memikat hatinya.

Tak perlu waktu lama, kurang dari sebulan Pemuda gagah itu melamar Wulan. Dan Wulan kini sah menjadi seorang istri. Meski demikian, tanggung jawabnya akan keluarganya blm lepas. Tigor, adik bungsunya harus tinggal bersamanya. Dari SMP hingga lulus SPG, dan memutuskan untuk pisah dari Wulan saat dia mendapatkan pekerjaan mengajar di salah satu sekolah negeri.

Ibunya juga memaksa Tigor untuk melanjutkan sekolahnya ke tingkat yang lebih tinggi. Beliau mengirim Tigor ke sebuah kota besar dan membeli rumah disana demi bisa tetap memantau perkembangan Tigor. Rumah itu bukan rumah pertama. Sebelumnya ibu mereka juga sudah membeli 4 rumah di kota yang berbeda juga beberapa bidang tanah di areal yang berbeda. Jadi dengan bertambahnya rumah baru di kota tmpt Tigor belajar genaplah 6 rumah keluarga ini. Tentunya ini membuktikan bahwa keluarga ini bukan keluarga miskin. Namun entah kenapa, sepertinya bagi sang Ibu, pendidikan yang tinggi hanya milik anak laki-laki.

Kondisi ini membawa anak lelaki keturunan kluarga itu kini sudah menjadi Kepala Sekolah di salah satu SMA ternama di Ibukota. Namun apa nasibnya 3 saudarinya??

Mereka tetap saja jadi orang desa, yang hanya memikirkan bagaimana caranya memberi makan keluarganya hari ini.

Bertahun-tahun berlalu, di usianya yang senja, si Ibu akhirnya dijemput Sang Empunya Hidup. Seperti sudah dipersiapkan, usai pemakaman, Surat Wasiat dari sang Ibu dibacakan. Isinya "Semua harta yang ia punya adalah seutuhnya milik putra semata wayangnya. Bila Putranya sudi membagi dengan ketiga saudarinya, hanya binatang ternak yang boleh dibagi, jika tidak, maka sang putra tidak punya kewajiban untuk membagi apapun dengan ketiga saudarinya".

Isi wasiat ini membuat tiga orang putrinya terpukul. Mereka sungguh tidak dianggap oleh orangtua mereka sendiri. Namun mereka berusaha untuk tidak membenci Ibu yang melahirkan mereka. Mereka tetap mendoakan arwah ibunya.

ah sungguh malang nasib gadis itu..
gadis itu bernama Wulan
Gadis itu ibu saya :'(

0 Cahaya Bicara:

Cahaya Hati Boneth Copyright © 2009 Designed by Ipietoon Blogger Template for Bie Blogger Template Vector by DaPino