Hidup dan Mati milik Tuhan, siapa bisa menebak??

Semua hal yang memiliki awal, pasti mempunyai akhir. Begitu juga hidup, ada lahir tentu ada saatnya meninggal. Tinggal sesiap apakah kita menerima hari itu?
Sebagian besar umat manusia pasti menginginkan “mati wajar”. Paling nggak jangan meninggalkan kesan yang tidak baik saat meninggalkan dunia fana ini.

Sebutlah Nenek Nira, seorang wanita tua yang memang sudah “harinya” untuk di panggil hari itu. Hampir semua anak dan menantunya tinggal di desa yang sama dengannya. Hingga tak sulit bagi keluarganya untuk berkumpul dan saling menguatkan. Dari 4 orang menantu laki-lakinya, seorang dari antaranya berinisiatif untuk memesankan Peti untuk ibu mertuanya. Dia adalah Ranto, seorang tukang kayu yang merasa bertanggung jawab untuk memesankan peti itu karena dia sendiri juga pembuat peti mayat dan ia punya banyak relasi yang bekerja di bidang yang sama.

Namun sungguh sayang, inisiatif baik Ranto tak dianggap oleh ipar-iparnya. Bahkan meski peti itu sudah jadi dan siap digunakan, iparnya yang lain tetap memesankan peti yang lain untuk Nenek Nira. Ranto merasa dilecehkan dan tak dianggap, namun ia tak pernah berani mengungkapkan perasaannya kepada orang lain, terutama ipar-iparnya yang tergolong “berada”. Ranto yang terkenal sangat pendiam itu hanya diam menyaksikan peti yang ia pesankan tak dipakai. Dia memang pria baik dan sangat pendiam. Semua sifat baiknya menurun pada anak-anaknya. Hingga, semua orang di desa itu dapat merasakan betapa bahagianya keluarga mereka meski tak punya apa-apa.

Entah karena terlalu sakit hati, malam usai pemakaman Nenek Nira, Ranto mencoba menenggak segelas minuman keras di warung dekat rumah ibu mertuanya. Meski Cuma segelas, tapi ternyata minuman itu mampu memabukkannya. Sepanjang malam itu dia ngoceh nggak karuan. Semua rasa yang ia pendam keluar malam itu. Setiap orang yang melintas terheran-heran menyaksikan pemandangan tak biasa itu. Meski heran, namun ternyata ada juga orang yang menikmati “tontonan” itu, dan menambahkan minuman ke gelas kosong Ranto. Ranto yang sudah bukan dirinya itu menerima saja dan menenggak setiap minuman yang ditambahkan, hingga tak ada yang tau persis dia sudah menyelesaikan berapa gelas. Rupanya Ranto juga menikmati kebebasannya itu…sampai akhirnya ia terjatuh dan tak sadarkan diri. Semua orang kaget dan memboyongnya pulang. Dan itulah kali terakhir Ranto muncul di “peredaran”.

Saat terbangun dari tidur panjangnya yang nyaris 2 hari itu, Ranto tak mampu lagi mengenali orang lain. Bahkan istrinya sendiri yang biasa menemaninya tidur ia lempar bagai melempar mainan usang. Tiba-tiba ia menjadi bringas dan sangat kuat. Istrinya yang belum menyadari perubahan itu murka mendapat perlakuan kasar dari suami tercintanya yang sudah dengan setia ia jagai sepanjang malam itu. Saat ia hendak memaki suaminya, ia melihat Ranto sudah melangkah keluar dan langsung menampar anak bungsunya yang sedang bermain di depan rumah. Tak hanya itu, ia mengangkat anak itu dan seperti ingin membuangnya ke kebun di belakang rumahnya. Istrinya menjerit minta tolong. Mujur sekelompok pria yang sedang berkumpul di warung sebelah mendengar. Jadilah 4 orang pria dewasa itu memegangi Ranto minta ia menurunkan anaknya yang sudah sangat ketakutan itu. Ranto tak menggubris, malah balik menghajar seorang dari empat pria itu.

Hidup Ranto sungguh sudah berubah. Ia kini terpaksa dijerat rantai besi agar ia tak mengganggu orang lain. Ranto seperti orang gila, mungkin benar sudah gila. Semua ucapan yang keluar dari mulutnya hanya bahasa yang tak layak diucapkan. Dia yang sekarang berbalik 180 derajat dari ia yang sebenarnya. Bukan tak diobati, ia sempat dibawa oleh keluarganya ke rumah sakit umum di desa itu, namun pihak rumah sakit mengaku tak mampu menanganinya, karena itu masalah kejiwaan dan “bidang” itu sama sekali belum ada di desa mereka. Pilihan terakhir adalah pengobatan tradisional. Selama pengobatan ia terpaksa dipasung. Tapi dipasung membuat Ranto tak berminat untuk sekedar memakan sesuap nasi, padahal ia selalu meronta dan mengumpat. Energi yang ia keluarkan sangat tidak sebanding dengan supply makanan yang ia terima. Dan akhir yang sangat memilukan bagi istri dan anak-anak Ranto, karena dua minggu setelah pemakaman Nenek Nira, akhirnya Ranto juga menghembuskan nafas terakhirnya. Kini ia sudah damai, dalam tangan Tuhan. Dia tak akan mengerang dan mengumpat lagi. Ia juga tidak akan menyakiti siapa-siapa lagi, terutama hati istri dan anak-anaknya.

Begitulah pria baik itu pergi dengan kondisi yang tak terduga dan tak diinginkan semua orang. Semoga pria baik itu mendapat tempat yang baik disana. Aku selalu berdoa untukmu Om. Kami semua mencintaimu.

10 Cahaya Bicara:

Slamet Riyadi mengatakan...

haluuuuu hay hay, maaf nih dah jarang BW lagi
hehehehe baru sempet mampir nih
2 minggu ada ujian semesteran, sekarang dah kelar
so bisa jalan2 lagi...
eh masi ada tugas bikin program rumah sakit, perbankan, ma penjualan ding....
pulang dulu ya... mau mumpet lagi tha thaaa

Enno mengatakan...

waah akhir yg menyedihkan...
ada banyak hikmah dlm cerita ini

:)

Joko Sutarto mengatakan...

Kasihan nasib Ranto. Budaya pasung memasung ini, meski jaman katanya sudah modern, seringkali dilakukan oleh masyarakat kita. Saya ambil contoh di kampung halaman saya di Jawa Timur bahkan hingga kini masih ada saudara saya yang dipasung. Kasihan! "Lebih kasihan lagi kalau kluyuran kesana kemari tidak ada yang ngurus," demikian katanya saat kutanya mengapa sampai dipasung saudara saya tersebut.

elia|bintang mengatakan...

jadi bingung saya. kl ga dipasung, almarhum menyakiti orang lain. kl dipasung, ga mau makan minum. tapi setidaknya saya bisa menangkap banyak pesan moral dari cerita ini

semoga almarhum mendapat tempat yang baik saat ini ya :)

venus mengatakan...

ini true story atau...

wedew...

eh iya. selamat taun baru ya mbak :)

Lisha Boneth mengatakan...

@slam: hi slam... welkambek.. hehe jangan kebanyakan belajar, ntar botak looohh.. :P

@enno: iya.. dan dia itu kluarga dekat saya.. dia masih om saya :((

@mas joko: tapi klo dibiarin begitu (nggak dipasung) dia bakalan mengganggu orang-orang.. kesian juga, warga bisa nggak tenang hidupnya klo dia dibiarin berkeliaran :( tp klo dipasung koq rasanya nggak berkemanusiaan banget yah? :((

@elia: amiiinn...!! iya serba salah juga waktu itu.. dan kepergiannya kyknya emang yang terbaik untuk dia..

Lisha Boneth mengatakan...

@venus: eh ada simbok.. hihihi
hai mbok!

iya.. ini true story..

saya blom bukan mbak-mbak mbooooooookkkkkkk...... tolongggggg.... hahahaha

hepi new year juga mbok.. muachh..

ahhh senengnya dapat kunjungan dari sang pujaan hati :P

miwwa mengatakan...

kasian sekali pria baik itu.. sungguh sombong keluarga iparnya yang berada itu.. x(

bukan facebook mengatakan...

dalam konteks yang berbeda saya bisa merasakan perasaan si pria baik ituh... :(

Lisha Boneth mengatakan...

@mira: iya..
ngeliat itu, aku jadi wanti-wanti sama suami, klo ada yg mengganjel dihati, langsung diomongin, jangan pendam sendiri..
takut jg bookk.. soalnya suamiku tergolong orang yang sangat pendiam dan suka memendam sendiri

@bukan fb: namanya Ranto bang.. dia Om ku :(( :((

Cahaya Hati Boneth Copyright © 2009 Designed by Ipietoon Blogger Template for Bie Blogger Template Vector by DaPino